Tradisi Penukaran Uang Jelang Hari Raya Idul fitri Oleh: Anggun Intan Nur Amalia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

GAGASAN

Tradisi Penukaran Uang Jelang Hari Raya Idul fitri

Oleh: Anggun Intan Nur Amalia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Salah satu kegiatan yang dilakukan pada Hari Raya Idulfitri adalah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Biasanya, orang akan menukarkan uang THR mereka di bank untuk mendapatkan uang yang baru dan bersih. Selain bank, menukar uang juga umumnya dilakukan melalui perantara.
Perlu diingat bahwa jika menukarkan uang melalui perantara, biasanya akan dikenakan biaya tambahan. Sebagai contoh, ketika menukar uang pecahan sepuluh ribu sebanyak 100 lembar yang seharusnya bernilai satu juta rupiah, mungkin akan menjadi satu juta seratus ribu rupiah karena ada biaya tambahan dari perantara. Bagi umat Islam, perlu kiranya merujuk pada hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim No. 4147, bahwa ada dua syarat penting dalam pertukaran emas, perak, gandum, kurma, dan garam, yaitu takaran harus sama dan pembayaran harus dilakukan secara tunai.
Memang, tradisi menukar uang baru menjelang hari raya di Indonesia masih menjadi topik perdebatan di kalangan ulama. Salah satu perdebatan utamanya adalah mengenai kebolehan menukar uang baru melalui perantara (calo). Beberapa ulama berpendapat bahwa selisih nilai dalam transaksi tersebut merupakan upah atas jasa perantara yang menukar uang di bank. Mereka berargumen bahwa perantara berhak mendapatkan kompensasi untuk layanan mereka.
Ada ulama lain yang berpendapat bahwa selisih nilai tersebut termasuk riba, sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim No. 4147 yang melarang riba dalam transaksi. Mereka menganggap bahwa mengambil kelebihan nilai dalam pertukaran uang adalah tidak diperbolehkan dalam Islam. Untuk menghindari keraguan dalam transaksi menukar uang baru ini, disarankan untuk langsung menukarkannya di bank. Di bank, tidak ada selisih nilai dalam menukar uang baru, sehingga transaksi menjadi lebih transparan dan sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam. Hal ini dapat membantu umat Islam untuk mematuhi ajaran agama dalam menjalankan aktivitas ekonomi.
Praktik transaksi penukaran uang yang sering terjadi menjelang hari raya merupakan kegiatan yang dianggap ilegal karena tidak sesuai dengan aturan dalam transaksi yang seharusnya melibatkan barang sebagai benda yang diperdagangkan, bukan uang. Selain itu, nilai uang dari hasil penukaran sering tidak sebanding dengan nilai barang yang seharusnya diperoleh.
Meskipun demikian, masyarakat diimbau untuk menukarkan uang mereka di Bank Indonesia untuk menghindari risiko penukaran uang palsu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mengingat banyaknya kasus serupa yang terjadi. Salah satu masalah yang timbul adalah ketika pelaku penukaran uang melakukan kegiatan tersebut di lokasi yang kurang strategis. Misalnya di pinggir jalan yang dekat dengan lalu lintas, yang dapat mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Tradisi menukar uang juga bisa dilihat dari berbagai aspek. Misalnya dari manfaat besar yang dihasilkan dari transaksi tersebut. Fenomena penukaran uang ini menciptakan peluang bisnis bagi sebagian masyarakat atau pedagang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga manfaat yang terlihat di sini adalah pemenuhan kebutuhan yang dapat diakibatkan oleh kegiatan tersebut untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, manfaat juga tercermin dari upaya saling membantu, di mana keberadaan penyedia layanan pertukaran uang di pinggir jalan memudahkan konsumen untuk memperoleh kebutuhan mereka tanpa harus mengantri di Bank.
Fenomena penukaran uang tersebut sebenarnya dapat dianggap sesuai dengan prinsip bahwa setiap kebutuhan memiliki perlakuan yang sama dengan keadaan darurat yang dapat memberikan kemudahan. Kemudahan tersebut tercermin dari ketersediaan beberapa layanan penukaran uang yang mudah ditemui di pinggir jalan menjelang hari raya. Meskipun terdapat perbedaan nilai dalam transaksi penukaran uang tersebut, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum atau riba, karena merupakan upah atas jasa penukaran uang tersebut.
Para penyedia penukaran uang memberikan kontribusi dengan mengambil uang dari bank dan menjualnya kepada pelanggan yang menunggu untuk menukarkan uang. Tentu saja, ada nilai jasa yang terkandung di sini, sehingga selisih nilai tersebut dapat dianggap sebagai pembayaran atas jasa yang diberikan. Dibandingkan dengan pelanggan yang harus mengantri atau bahkan berdesakan saat menukar uang sendiri di bank, kehadiran para penyedia jasa tersebut memberikan kemudahan dalam bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan mereka.
*Dikutip dari beragai sumber.

Oleh: Anggun Intan Nur Amalia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *