Tinjauan Hukum terhadap Victim Precipitation dalam Penjatuhan Putusan Pidana Oleh: Duwi Pratiwi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Tinjauan Hukum terhadap Victim Precipitation dalam Penjatuhan Putusan Pidana
Oleh: Duwi Pratiwi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Kejahatan merupakan “penyimpangan perilaku individu” dari aturan yang disepakati dalam masyarakat. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik pria maupun wanita; anak, dewasa ataupun lanjut usia. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar; yang dipikirkan, direncanakan, dan diarahkan pada suatu maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar; misalnya didorong oleh impuls dari segi sosiologis, dalam kejahatan yang merupakan salah satu jenis gejala sosial yang berkenaan dengan individu atau masyarakat.
Terjadinya kejahatan terkadang juga tidak lepas dari peran korban atau Victim Precipitation yang sering digambarkan sebagai kesalahan-kesalahan yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Victim Precipitation yang awal mulanya merupakan teori kriminologi kemudian dikembangkan menjadi teori viktimologi yang menjelaskan bahwa dalam terjadinya suatu tindak pidana, korban bisa menjadi faktor yang turut andil dalam terjadinya suatu viktimisasi tersebut. Kajian viktimologi perlu dipahami juga dalam realitas lebih luas tidak hanya dikaitkan dengan peranan korban dalam terjadinya kejahatan yang oleh para ahli kriminologi digunakan konsep Victim Precipitation ataupun provokasi korban.
Realitas sosial korban yang ada, bahwa si korban sama sekali tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban di samping itu sangatlah diragukan apabila posisi korban yang demikian menjadikan adanya keragu-raguan terhadap kesalahan dari pelaku. Terkadang korban yang terlebih dahulu menimbulkan kerusakan dan kerugian. Harus ada pemisahan tanggung jawab antara korban dan pelaku tindak pidana.
Korban mempunyai suatu peranan yang fungsional dalam terjadinya tindakan kejahatan. Korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dan harus diperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal dan juga pembinaan para perilaku kejahatan (tindak pidana). Secara faktual tidak selalu terjadinya kejahatan karena mutlak dari pelaku. Peran korban dalam suatu kejahatan juga dapat mempengaruhi niat dari pelaku. Banyak kasus yang yang terjadi tidak murni karena adanya niat pelaku. Pelaku sebetulnya tidak ada niatan untuk melakukan tindak pidana kepada korban tetapi karena adanya alasan atau desakan yang dilakukan oleh korban timbulah tindak pidana tersebut.
Contohnya kasus pembunuhan yang melibatkan pelaku bernama AAT berusia 34 tahun dalam Putusan Nomor 383/Pid.B/2014/Mtp dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun karena melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan tuntutan pidana 4 tahun penjara. Kejadian yang sebenarnya adalah bahwa korban Haryanto yang dalam kondisi mabuk melakukan provokasi dan dengan tangan kosong melakukan pemukulan pada pelaku yang mengakibatkan pelaku terjatuh, kemudian pelaku tersebut terprovokasi untuk membalas perbuatan korban dengan menusukkan sebilah pisau ke beberapa bagian tubuh korban yang mengakibtkan korban meninggal dunia.
Contoh tindak pidana lainnya yang terjadi baru-baru ini adalah kasus pembunuhan pada pelaku MAA (25) dan BAF(20) pada Putusan 57/Pid.B/2022/PN Slw dijatuhi hukuman pidana penjara pada pelaku MAA selama 1 tahun 10 bulan dan pelaku BAF selama 1 tahun 3 bulan karena melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (3) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan tuntutan pidana pada pelaku MMA dengan 2 tahun penjara dan pelaku BAF dengan tuntutan pidana 1 tahun 10 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kejadian yang sebenarnya adalah bahwa korban CS yang sudah menyepakati adanya perang sarung yang berwilayah di Kecamatan Slawi untuk ikut secara bersama-sama melakukan lomba perang sarung antar kelurahan, namun perang sarung tersebut hanya terjadi selama 15 menit karena adanya patroli dari kepolisian setempat, setelah hal itu, kemudian korban mendapati bahwa sarung yang ia bawa sebelumnya berada di tangan saksi A, kemudian terjadilah cekcok antara korban CS dan saksi A, setelah cekcok korban CS memukul kepala saksi A. Melihat temannya dipukul oleh korban, kedua pelaku merasa tidak terima dan langsung berlari mendatangi korban lalu mendorong dan memukul sehingga menyebabkan korban meninggal dunia, ya g menarik dari kasus tersebut andaikata korban tidak memukul saksi terlebih dahulu, maka bisa dikatakan peristiwa tindak pidana itu tidak dapat terjadi.
Dua contoh kasus tersebut terlihat jelas bahwa pertimbangan hakim hanya menitikberatkan pada pemenuhan syarat-syarat pemidanaan, sebagaimana terdapat pada Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atas dasar hanya unsur Pasal-pasal yang didakwakan serta peraturan perundang-perundangan lainnya. Pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan merupakan bentuk pertanggungjawaban hakim atas apa yang diputuskannnya dalam amar putusan, sehingga segala sesuatu yang diputuskan dalam amar putusan harus dipertimbangkan dengan baik dalam pertimbangan hukum yang termuat pada tubuh putusan. Hal yang dipertimbangkan hakim dari kedua contoh kasus tersebut hanyalah pengakuan terdakwa yang berterus terang dan tidak pernah dihukum, sedangkan korban yang dengan sengaja memprovokasi pelaku dalam kondisi mabuk, serta korban yang terlebih dahulu memukul, tidak dipertimbangkan oleh hakim.
Peradilan pidana yang terjadi adalah hakim hanya cenderung memperdulikan unsur kesalahan yang seolah-olah hanya berada dalam diri pelaku. Hakim dalam meringankan suatu putusan untuk terdakwa biasanya hanya berpatok pada terdakwa masih muda, pelaku merupakan tulang punggung keluarga, pelaku sopan dalam persidangan atau pelaku tidak pernah dihukum dan menyesali perbuatanya sesuai dengan Pasal 197 KUHAP dalam hal hakim menjatuhkan putusan berupa putusan pemidanaan yang salahsatunya adalah keadaan yang meringankan terdakwa. Dari pertimbangan yang meringankan tersebut, menurut penulis lebih masuk ke pertimbangan sosiologis dan tidak relevan ketika masuk ke pertimbangan yuridis, karena hakim tidak mempertimbangkan adanya Victim Precipitation atau peranan korban dalam suatu tindak pidana.
*Dikutip dari berbagai sumber. Tulisan ini merupakan bagian dari proposal Skripsi Penulis.
Oleh: Duwi Pratiwi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *